Opini/Artikel

0% VS Efektivitas Sistem Presidensial

Ditulis oleh: Muamar Kadafi, M.AP (Ketua Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan SDM KPU Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)   Ambang batas pencalonan presiden kembali menjadi perbincangan hangat. Perdebatannya mendominasi media dari mulai stasiun TV nasional hingga media online, para pakar, pengamat politik bahkan politisi. Masing-masing mengemukakan pendapat disertai argumentasinya mengenai angka yang cocok untuk diterapkan pada syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Para pendukung ambang batas pencalonan 0% telah beberapa kali mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Ketentuan yang digugat adalah Pasal 222 UU 7/2017 yang menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 2O% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen)dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Namun beberapa kali MK menolak permohonan tersebut. MK berargumen hukum, ambang batas pencalonan presiden merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Artinya, yang bisa mengajukan ambang batas 0% hanyalah pembentuk undang-undang yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan atau Presiden. MK pun berpendapat, pasal tentang ambang batas pencalonan merupakan open legal policy yang bisa diubah kapan saja oleh para pembuat undang-undang. Ambang batas pencalonan memang menjadi perhatian para pengamat politik dan ketatanegaraan. Harapan ambang batas pencalonan 0% bukan tanpa rujukan penerapan negara lain. Di Amerika Serikat dan Prancis, tidak ada ambang batas pencalonan presiden seperti di Indonesia. Bahkan, di Amerika Serikat ada pencalonan presiden dari jalur independen nonpartai politik. Namun, apakah ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 0% cocok untuk diterapkan di Indonesia? Apakah ini dapat menambah efektivitas pemerintahan dan memperkuat sistem presidensial di republik ini? Jika kita komparasi sistem presidensial dan format pemilu, penerapan di Indonesia berbeda dengan di Amerika Serikat. Meskipun sistem pemerintahan Amerika Serikat adalah presidensial murni, namun presiden AS tidaklah dipilih langsung, melainkan dipilih oleh perwakilan yang disebut electoral college yang dipilih dengan menggunakan sistem First Past the Post (FPTP) yakni peraih suara terbanyak langsung ditetapkan menjadi pemenang (IDEA, Desain Sistem Pemilu: 33). Selain itu format pemilu legislatif AS juga menggunakan sistem mayoritarian FPTP yang memungkinkan penyederhanaan sistem kepartaian menjadi sistem dua partai dominan. Sistem dua partai yang ditopang oleh sistem pemilu mayoritarian seperti di AS dianggap lebih mampu menciptakan pemerintahan efektif (Didik Supriyanto, Demokrasi dan Pemilu: 216). Berbeda dengan di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial namun menggunakan sistem multipartai dengan sistem pemilu proporsional representatif (PR). Sistem ini memungkinkan hasil pemilu tidak ada partai yang menjadi mayoritas tunggal sehingga untuk membentuk pemerintahan efektif, partai pemenang pemilu harus membangun koalisi ketika mencalonkan presiden dan wakil presiden. Koalisi ini bukan hanya untuk sekedar memenuhi syarat ambang batas 20% jumlah kursi DPR, tapi juga agar ketika pasangan calon tersebut berhasil memenangkan pemilu mendapatkan dukungan mayoritas di DPR untuk menghindari pemerintahan terbelah (divided government). Sistem presidensial Indonesia pun berbeda dengan Prancis. Prancis menganut sistem pemerintahan semi-presidensial, di mana presiden memang dipilih secara langsung oleh rakyat dengan popular vote, namun Prancis juga memiliki perdana menteri yang dipilih oleh parlemen tetapi juga bertanggung jawab kepada presiden. Sistem ini memungkinkan check and balancing antar lembaga pemerintahan yang membuat jalannya pemerintahan bisa efektif. Di satu sisi presiden memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat.  Di sisi lain juga kepentingan mayoritas parlemen merasa telah terwakili dengan adanya perdana menteri yang mereka pilih. Selain itu, Prancis juga menggunakan format pemilu yang memungkinkan penguatan sistem presidensial. Presiden dipilih sekitar 1 bulan sebelum pemilu legislatif yang berdampak efek ekor jas. Pengaruh kemenangan presiden terpilih masih terasa pada pemilihan anggota parlemen, sehingga pemerintahan presiden terpilih bisa memiliki dukungan mayoritas parlemen. Situasi tersebut diperkuat oleh sistem pemilu Prancis yang menggunakan Two Round System yang membuka peluang bagi kandidat dari partai presiden terpilih mendapat dukungan besar dari pemilih. Kondisi berbeda terjadi pada sistem dan format pemilu di Indonesia, dengan sistem PR Terbuka. Dukungan pemilih untuk calon anggota legislatif cenderung lebih merata ke berbagai partai politik karena terbentuk pola kandidat sentris dan rendahnya party-ID sehingga sulit terbentuk mayoritas tunggal pada hasil pemilu di Indonesia. Ini ditambah dengan format pemilu serentak yang menggabungkan pemilu presiden dan pemilu legislatif di hari yang sama, membuat coattail effect tidak begitu terasa. Ambang batas pencalonan nol persen memang sangat baik bagi demokrasi. Ini memberikan kesempatan yang luas bagi warga negara yang potensial untuk dapat berkompetisi menjadi calon presiden dan wakil presiden serta memberikan banyak pilihan kepada masyarakat untuk memilih calon presiden dan wakil presiden alternative. Namun, jika ambang batas pencalonan 0% dipadankan dengan sistem pemilu dan format pemilu yang tidak tepat maka menurut beberapa pakar bisa menyebabkan instabilitas pemerintahan karena bisa menjadi sebab pemerintahan terbelah atau pemerintahan minoritas yang bisa menyebabkan instabilitas pemerintahan atau bahkan menjurus ke instabilitas politik. Ambang batas pencalonan presiden 0% sepertinya lebih cocok jika dijadikan padanan untuk sistem pemilu mayoritarian, terutama varian first past the post dan two round system. Pilihan sistem ini terbukti berhasil membentuk mayoritas tunggal di parlemen dan efektivitas pemerintahan presidensial setidaknya pada dua negara demokrasi mapan seperti di Amerika Serikat dan Prancis. Sebaliknya, ambang batas pencalonan presiden dengan besaran 20% seperti di Indonesia memungkinkan terbentuknya efektivitas sistem presidensial. Presidensial Indonesia menjadi terjaga karena partai politik terkondisikan untuk berkoalisi pada awal atau prapemilu agar dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang pemilu. Selain ini, besaran 20% pun bertujuan untuk lebih memungkinkan pembentukan koalisi mayoritas pendukung presiden di DPR, sehingga tidak terjadi pemerintahan terbelah. Jika dipaksakan pada sistem pemilu proporsional daftar terbuka dan sistem multipartai seperti di negara kita, ambang batas 0% pada kandidasi presiden bisa saja akan menjadi penyebab “politik dagang sapi” dan “politik belah bambu” bagi partai oposisi pascapemilu jika presiden dan wakil presiden terpilih berasal dari partai minoritas dan justru akan melemahkan sistem presidensial di republik ini.

Tanggal Pemilu dan Kewenangan Delegatif KPU

Mengamati dan memperhatikan pemberitaan terkait dengan persiapan Pemilihan Umum 2024, dan bagi yang mengikuti beberapa kali rapat ataupun pertemuan antara penyelenggara pemilu dengan pemerintah dan Komisi II DPR, akan terlihat betapa penentuan penetapan tahapan dan jadwal kian berjalan alot. Terutama, antara penyelenggara pemilu dengan pemerintah; penyelenggara pemilu terutama KPU menginginkan tanggal pemungutan suara dilaksanakan pada 21 Februari 2024 dengan pertimbangan pada bulan November tahun yang sama juga akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah serentak di seluruh Indonesia. Sementara pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri menginginkan pemungutan suara Pemilu 2024 sebaiknya dilakukan pada April atau bahkan Mei 2024, dengan alasan selain pemerintah tengah berfokus untuk segera mengatasi pandemi Covid-19, juga pemerintah tidak menginginkan jadwal dan tahapan pemilu dimajukan. Karena itu berarti juga memajukan lebih awal panasnya suhu politik akibat manuver politik dari para bakal calon presiden dan wakil presiden maupun dari partai politik calon kontestan, yang menurut pemerintah akan mengganggu konsentrasi pemerintah dalam upaya pemulihan ekonomi. Siapakah sebenarnya yang paling berwenang sebagai decision maker untuk menetapkan tanggal pemungutan suara dan tahapan pemilu? Tiga Model Dalam buku Desain Penyelenggaraan Pemilu yang diterbitkan oleh Internasional IDEA terdapat tiga model penyelenggara pemilu di dunia. Pertama, model Independen. Penyelenggaraan model Independen merupakan penyelenggara pemilu yang secara kelembagaan independen dari pemerintahan eksekutif, bertanggung jawab penuh terhadap implementasi pemilu, anggotanya terdiri dari orang-orang non-eksekutif dan berwenang untuk menyelenggarakan keuangan sendiri. Kedua, model Pemerintahan; bentuk penyelenggaraan pemilu diorganisasi dan dikelola oleh lembaga eksekutif negara melalui sebuah kementerian (misalnya Menteri Dalam Negeri) dan/atau melalui pemerintah daerah. Ciri penyelenggaraan model pemerintahan antara lain implementasi berdasarkan arahan badan eksekutif, bertanggung jawab penuh kepada badan eksekutif, wewenang terbatas pada fungsi implementasi, dipimpin oleh menteri atau pejabat publik lainnya dan anggarannya merupakan bagian dari anggaran kementerian atau pemerintah daerah. Ketiga, model Kombinasi. Biasanya ada dua komponen Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPP) dan struktur ganda, yakni LPP independen yang bertugas untuk mengurus kebijakan dan pengawasan (sebagaimana LPP pada model Independen) dan LPP yang bertugas melakukan implementasi proses pemilu yang berada di bawah departemen negara atau pemerintah daerah (sebagaimana LPP pada model Pemerintahan). Di dalam model Kombinasi, pemilu diorganisasi oleh LPP yang berada di bawah lembaga pemerintahan, sedangkan fungsi pengawasan diserahkan kepada komponen LPP yang independen. Independensi Jika melihat tiga model penyelenggara pemilu di atas, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia tergolong sebagai Electoral Management Body (EMB) yang Independen. Ini sesuai dengan amanat Konstitusi kita di Pasal 22E ayat (5) yang menyatakan: Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sementara Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 167 ayat (2) menyebutkan: Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilu ditetapkan dengan keputusan KPU. Dari kedua pasal dalam Konstitusi maupun UU Pemilu terlihat jelas bahwa penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU telah diberikan kemandirian dari segala campur tangan lembaga mana pun, termasuk soal penetapan hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara baik oleh pemerintah maupun legislatif. Adapun dalam hal membentuk Peraturan KPU yang berkaitan dengan pelaksanaan tahapan pemilu, KPU wajib berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah melalui rapat dengar pendapat sesuai Pasal 75 ayat (4) UU Pemilu. Namun hasil konsultasi dengan DPR dan pemerintah tidak lagi mengikat untuk KPU sebagaimana putusan MK Nomor 92/PUU-XIV/2016 termasuk dalam membentuk PKPU tahapan, program, dan jadwal Pemilu. Kewenangan Delegatif Jadi jelas bahwa pembentukan Peraturan KPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pemilihan Umum 2024, termasuk di dalamnya terdapat hari dan tanggal pemungutan suara merupakan kewenangan delegatif KPU yang diberikan oleh Undang-undang Pemilu. Sudah semestinya semua pihak menghormati kewenangan KPU dalam menjatuhkan pilihan menetapkan hari, tanggal, dan waktu pemilu. Sebagai lembaga teknis yang telah berpengalaman melaksanakan pesta demokrasi 5 tahunan, KPU tentunya telah mempertimbangkan dengan matang berbagai irisan tahapan pemilu dengan pilkada, kendala teknis, serta tantangan kompleksitas Pemilu dan Pilkada 2024, dan mungkin telah menyiapkan solusi dan penyelesaian melalui rancangan serta simulasi, yang nantinya akan dituangkan dalam PKPU Tahapan, Program, dan Jadwal yang akan dan mestinya segera di sosialisasikan. Mengingat, tahapan pemilu harus segera dimulai paling lambat 20 bulan sebelum hari pemungutan suara sebagaimana diperintahkan oleh undang-undang. Terkait dengan keberatan pemerintah mengenai konstelasi politik yang memanas lebih awal merupakan konsekuensi atas pilihan tidak merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada. Pemerintah dan DPR sebagai perwakilan partai politik harus bersiap lebih dini untuk menghelat demokrasi elektoral 2024. Begitu pun seluruh penyelenggara pemilu baik KPU, Bawaslu, dan DKPP telah siap melaksanakan amanat UU No. 7 tahun 2017 serta UU No. 10 tahun 2016 yang diputuskan tidak direvisi. KPU RI misalnya, telah membuat rancangan beberapa Peraturan KPU untuk mendukung pelaksanaan Pemilu dan Pilkada 2024. Sedangkan terkait penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi pascapandemi merupakan problem semua negara di dunia. Semua pihak baik pemerintah, DPR, maupun penyelenggara pemilu memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dengan konsisten atas ditetapkannya Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024. Akhirnya, semua pihak pemangku kepentingan pemilu sudah seharusnya secara legowo dan ksatria mempersilahkan KPU untuk menentukan hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara sesuai perintah undang-undang. Ditulis oleh Muamar Kadafi, M.AP Komisioner KPU Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Dikliping dari artikel yang terbit di detiknews, “Tanggal Pemilu dan Kewenangan Delegatif KPU” selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-5813292/tanggal-pemilu-dan-kewenangan-delegatif-kpu.

Menakar Kohesivitas Daerah Pemilihan Kepulauan Seribu - Cikoding (Layakkah Kepulauan Seribu punya Dapil tersendiri?)

Oleh : Muamar Kadafi Daerah Pemilihan (DAPIL) merupakan wilayah administrasi pemerintahan atau bagian wilayah pemerintahan yang dibentuk sebagai kesatuan wilayah/daerah berdasarkan jumlah penduduk untuk menentukan alokasi kursi sebagai dasar pengajuan calon oleh pimpinan partai politik, dan penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. (Penguatan Masyarakat Adat Melalui Pendapilan Berbasis Kohesivitas, Indonesian Parliamentary Center 2017). Ada 7 prinsip dalam penyusunan Daerah Pemilihan (Dapil) menurut Undang-undang 7 tahun 2017 Pasal 185, yakni kesetaraan nilai suara (one man, one vote, one value), ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional, proporsionalitas, integralitas wilayah, berada dalam cakupan wilayah yang sama, kohesivitas, dan kesinambungan. Menurut Penjelasan pasal 185 huruf (f) UU no.7 tahun 2017 : Yang dimaksud dengan "penyusunan dengan prinsip kohesivitas" adalah penyusunan daerah pemilihan memperhatikan sejarah, kondisi sosial budaya, adat istiadat dan kelompok minoritas. Beberapa prinsip diatas, pada satu sisi memiliki tingkat prioritas antara satu dengan yang lain, disisi lain juga kadang bertentangan. Oleh karena itu, pilihan-pilihan yang hendak diprioritaskan, akan memberi dampak pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Di antara prinsip-prinsip diatas, yang paling ketat adalah daerah pemilihan hendaknya merupakan satu kesatuan yang utuh (IPC, 2017). Masalah yang sering muncul pada tahap penetapan alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan menurut buku "Penguatan Masyarakat Adat Melalui Pendapilan Berbasis Kohesivitas", Indonesian Parliamentary Center, 2017 adalah : Pertama Malapportioment, atau kesalahan alokasi kursi yang tidak menghormati jumlah populasi secara adil. Kedua Gerrymandering, yaitu pembentukan daerah pemilihan yang secara sistematis dan berpola menguntungkan pihak atau partai tertentu. Hal ini berdampak pada tidak terjaganya prinsip integralitas suara wilayah, absennya kekompakan daerah pemilihan, atau peta daerah pemilihan dalam satu kesatuan yang utuh tidak terpenuhi. Ketiga Pelanggaran Preserving Communities of Interest, salah satu prinsip pembentukan daerah pemilihan adalah menjaga kepentingan komunitas. Prinsip ini dapat diartikan segala hal yang berkaitan dengan kepentingan kelompok etnis, orang-orang dengan kepentingan ekonomi yang sama, pengguna infrastruktur umum, dan untuk orang-orang di area perdagangan yang sama. Meskipun prinsip menjaga kepentingan komunitas diadopsi sebagai salah satu prinsip dalam membentuk daerah pemilihan, arti dari istilah ini bervariasi di berbagai tempat. Dalam legislative Guideline Alabama, prinsip menjaga kepentingan komunitas memastikan keutuhan kepentingan dihargai secara layak. Kepentingan komunitas didefinisikan sebuah daerah dengan kesamaan yang diakui, termasuk dan tidak terbatas pada ras, etnis, geografis, pemerintah, daerah, sosial budaya, partisipan, kepentingan sejarah, dan kesamaan komunikasi. Demikian juga dalam Commission Guideline Montana, Komisi Pembentukan Daerah Pemilihan mempertimbangkan untuk menjaga kepentingan komunitas secara utuh. Kepentingan komunitas dapat berdasarkan pada daerah perdagangan, lokasi geografis, komunikasi dan jaringan transportasi, media market, kepentingan atas permintaan suku, daerah urban rural, kepentingan sosial, budaya dan ekonomi, atau pekerjaan dan gaya hidup. Jika kita mengacu pada prinsip menjaga kepentingan komunitas rasanya Kepulauan Seribu layak memiliki Dapil sendiri ya? Berdasarkan pengertian diatas, jika kita menilik lebih jauh berkenaan dengan sejarah, sosial budaya dan adat istiadat masyarakat bahari yang ada di Kepulauan Seribu dengan masyarakat Perkotaan yang tinggal di Cilincing, Koja maupun Kelapa Gading teramat berbeda. Kepulauan Seribu yang masyarakatnya masih sangat homogen umumnya masih sangat kental memegang budaya dan adat istiadat kenelayanan dan kelautan serta keguyuban dan kehidupan agamis khas perkampungan, sangat berbeda dengan kultur urban nan heterogen yang ada di 3 kecamatan di Kota Jakarta Utara tersebut. Meskipun di pesisir Cilincing masih ditemukan kelompok kecil nelayan, namun umumnya nelayan tersebut adalah para pendatang dari Jawa Barat dan Jawa Tengah seperti Cirebon, Tegal dan sebagainya yang tentu saja berbeda kehidupan sosial budayanya, sehingga menurut saya secara tradisi, adat istiadat dan sosial budaya tidaklah kohesi. Selain itu, dirasa amatlah sulit bagi tokoh masyarakat Kepulauan Seribu untuk bersaing memperebutkan kursi DPRD DKI Jakarta dengan tokoh-tokoh yang ada di Cilincing, Koja ataupun Kelapa Gading, mengingat jumlah pemilih yang ada di Kepulauan Seribu jauh sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah pemilih yang ada di 3 kecamatan tersebut, karena perilaku pemilih umumnya juga melihat asal, tempat tinggal dan latarbelakang calon legislatif yang akan dipilih serta pengenalan ketokohan yang dilakukan caleg yang berasal dari Cilincing, Koja dan Kelapa Gading lebih mudah kepada masayarakat di 3 kecamatan yang jumlah pemilihnya sangat besar itu. Lalu apakah seharusnya Kepulauan Seribu memiliki Daerah Pemilihan (Dapil) tersendiri dalam Pemilu? Tidak juga begitu. Secara Kohesivitas memang Kepulauan Seribu memenuhi kriteria untuk terpisah Dapil dari wilayah Jakarta Daratan, namun kohesivitas hanyalah salah satu dari 7 prinsip penyusunan Dapil yang diatur oleh Undang-undang, jika menimbang dari prinsip lainya yaitu prinsip Kesetaraan Nilai Suara dan Prinsip Proporsionalitas, menjadikan Kepulauan Seribu belumlah memenuhi syarat. Mengapa? Jumlah Penduduk Kepulauan Seribu hanya 28.289 orang, lalu jumlah kursi di DPRD DKI Jakarta berdasarkan Lampiran IV UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah 106 kursi, jika penduduk Jakarta yang 10.504.100 (data BPS, 2019) dibagi 106 kursi (berdasarkan Bilangin Pembagi Penduduk atau BPPd dalam PKPU 16 tahun 2017 pasal 12 ayat (6) ) maka harga satu kursi DPRD DKI Jakarta nilainya ialah sekitar 99.000, jadi jumlah penduduk di Kabupaten Kepulauan Seribu masih jauh untuk mendapatkan kursi DPRD DKI walau hanya 1 kursi. Lalu jika dikaitkan dengan prinsip Kesetaraan Nilai Suara dan prinsip Proporsionalitas maka memang sudah seharusnya pemilih di Kabupaten Kepulauan Seribu digabungkan suaranya dengan wilayah yang ada di Jakarta Utara yaitu pemilih di Kecamatan Cilincing, Koja dan Kelapa Gading (Jakarta Utara A) dengan kuota 9 kursi. Namun, jika mengacu kepada kekhususan Jakarta sebagai ibukota negara, terdapat celah jika para pembuat Undang-undang menghendaki Kepulauan Seribu menjadi Dapil tersendiri, misalnya dengan menyisipkan dalam Undang-undang 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara (jika nanti di revisi), sebagaimana kekhususan diberikan untuk jumlah kursi DPRD DKI yang dibunyikan dalam pasal 12 ayat (4) UU tersebut yaitu "Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta berjumlah paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari jumlah maksimal untuk kategori jumlah penduduk DKI Jakarta sebagaimana ditentukan dalam undang-undang." Sehingga DKI Jakarta diberikan alokasi kursi sebanyak 106 kursi, yang seharusnya hanya memperoleh alokasi 100 kursi ( beradasarkan UU 7/2017 pasal 188 ayat (2) huruf g ). Tampaknya masih panjang perjuangan masyarakat dan aktivis demokrasi Kepulauan Seribu untuk bisa punya Dapil sendiri, perlu upaya dari semua pihak misalnya dengan melakukan upaya lobi terhadap para pimpinan partai politik tingkat nasional untuk memperjuangkan revisi Undang-undang kekhususan Ibukota Provinsi DKI Jakarta dan memasukan klausul penambahan Dapil khusus Kepulauan Seribu, namun kembali lagi apakah usulan Dapil khusus itu tidak bertentangan dengan prinsip universal penataan Dapil dan tidak bertabrakan dengan peraturan perundangan-undangan lainnya, perlu kajian yang lebih dalam. Selamat berikhtiar, man jadda wajada.

Kilas Balik Pemilu 2019 di Kepulauan Seribu: Strategi Teknis Penyelenggaraan

Oleh Ahmad Gojali, SHI Anggota KPU Kepulauan Seribu/ Divisi Teknis Penyelenggara Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019 telah selesai dilaksanakan, sejak bergulirnya tahapan pelaksanaan pemilu semua menilai bahwa pemilu 2019 merupakan pemilu yang memiliki beban berat dan menyulitkan bukan saja bagi penyelenggara pemilu tapi juga bagi pemilih dan peserta pemilu, desain pemilu serentak tahun 2019 telah dirancang dan dipersiapkan untuk dapat dilaksanakan dalam suatu tata kelola pemilu. Salah satu dimensi dalam tata kelola pemilu adalah tahapan dan jadwal pemilu. Perumusan tahapan pemilu berguna untuk mendesain, merencanakan, membantu dan juga mengontrol semua aktivitas dan kegiatan yang bekerja di bagian untuk memudahkan bagi para penyelenggara pemilu dalam menjalankan tugasnya. Tahapan pemilu juga diperlukan untuk mengidentifikasi tantangan dan kendala yang biasanya dihadapi oleh para penyelenggara pemilu (tata kelola pemilu di Indonesia; 184). Dari banyak tahapan dalam pemilu, tahapan pada tungsura dan rekapitulasi menjadi perhatian banyak pihak untuk memastikan pelaksanaan tahapan pemilu ini dilaksanakan dengan prinsip Luber dan Jurdil sehingga hampir semua stakeholder sangat konsentrasi pada tahapan tungsura dan rekapitulasi ini hal ini dikarenakan tahapan ini menjadi jantung nya pemilu bagi penyenggara, pemilih apalagi bagi peserta pemilu agar terwujud pemilu yang berintegritas dan demokratis. Pemilu yang berintegritas dan demokratis akan terwujud apabila asas-asas dapat diimplementasikan dengan baik. Asas ini harus tercermin dalam setiap penyusunan UU ataupun peraturan lain tentang pemilu, harus menjadi pedoman masing-masing pemangku kepentingan pemilu seperti Partai politik, calon, pemilih, penyelenggara, pemerintah, media atau oleh siapa saja yang berkaitan dengan proses pemilu (tata kelola pemilu di Indonesia; 48). Dalam Pelaksanaan Pemungutan dan Perhitungan Suara merupakan tahapan krusial, boleh disebut yang menentukan dan di tunggu oleh banyak pihak, bagi peserta pemilu menunggu hasil pemilihan, bagi pemilih menunggu kepastian tentang calon yang didukungnya dan bagi penyelenggara memastikan semua kegiatan di hari tersebut berjalan sesuai perencanaan ataupun bagi media berharap ada banyak cerita dan dinamika menarik dari hasil pemilu yang dapat tergambarkan di hari tersebut. (tata kelola pemilu di Indonesia; 212). Berkenaan dengan pemungutan suara termaktub dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017 pada BAB VIII pasal 340 hingga pasal 371, untuk pemungutan suara ulang, penghitungan suara ulang dan rekapitulasi suara ulang termaktub dalam BAB IX pasal 372 sampai dengan 380 sedangkan untuk Penghitungan Suara dan rekapitulasi suara termaktub pada BAB X pasal 381 sampai dengan pasal 410. Adapun turunan undang undang nomor 7 Tahun 2017 berkaitan dengan pemungutan dan penghitungan suara diterbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan penghitungan Suara dalam Pemilihan Umumyang diperbaharui dengan PKPU Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan Dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, sedangkan untuk rekapitulasi suara di tuangkan dalam peraturan KPU nomor 4 tahun 2019 tentang rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan penetapan hasil pemilihan umum. Kerangka hukum tersebut sebagai acuan bagi penyelenggara dalam melaksanakan tahapan yang sangat penting dari seluruh rangkaian tahapan penyenggaraan pemilu agar dapat dilaksanakan secara profesional dan akuntabel agar hasil dari pelaksanaan tahapan pemungutan suara dan penghitungan perolehan suara menjadi hasil pemilu yang dapat legitimasi sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan salah satu wilayah administrasi di bawah Provinsi DKI Jakarta. Secara geografis letak Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada posisi antara 106º19'30" - 106º44'50" Bujur Timur dan 5º10'00" - 5º57'00" Lintang Selatan. Total luas wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah 4.745,62 km2 yang terdiri dari 8,76 km2 daratan, 4.690,85 km2 dan 46 km2, terdiri lebih dari 110 buah pulau. Pemerintahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dibagi ke dalam 2 Kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Adapun jumlah kelurahan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah 6 Kelurahan, yaitu Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Harapan, Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Pari dan Kelurahan Pulau Untung Jawa. (pulauseribu.jakarta.go.id) Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu memiliki perbatasan sebelah utara dengan Laut Jawa / Selat Sunda, sebelah timur dengan Laut Jawa, sebelah selatan dengan Kota Administrasi Jakarta Utara dan sebelah barat dengan Laut Jawa / Selat Sunda. (pulauseribu.jakarta.go.id) Berdasarkan data sensus dari BPS Kepulauan Seribu tahun 2016, jumlah penduduk di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah 23.639 jiwa, yang terdiri dari 11.816 laki-laki dan 11.823 perempuan. Tingkat pertumbuhan penduduk juga mengalami peningkatan dari 1,34% pada tahun 2014-2015 menjadi 1,36% pada periode tahun 2015-2016. Sementara untuk rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, yaitu sekitar 2.717 jiwa/km2 dengan komposisi kepadatan penduduk di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan mencapai 3.196 jiwa/km2 dan kepadatan penduduk di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara sebesar 2.458 jiwa/km2. Pemilu 2019 di kepulauan seribu dengan pemilih 19.013 tersebar di 70 TPS ditambah dengan 11 TPS Tambahan yang melibatkan penyelenggara pemilu berjumlah 784 orang terdiri dari KPU Kabupaten, PPK, PPS, KPPS dan Petugas Ketertiban dan Keamanan TPS yang melayani dan mempersiapkan pelaksanaan pemungutan dan perhitungan perolehan suara. Sejak peraturan KPU nomor 3 Tahun 2019 dan Peraturan KPU Nomor 4 tahun 2019 terbit, sebagai penyenggara pemilu, KPU Kepulauan Seribu telah dengan seksama mengikuti serangkaian kegiatan persiapan yang dilaksanakan oleh KPU Pusat dan KPU Provinsi untuk menjadi perhatian implementasi penyenggaraan Pemungutan dan perhitungan perolehan suara diwilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, beberapa pertimbangan yang matang harus dipersiapkan, pertama Pemilu Serentak 2019 pertama kali dalam sejarah bangsa Indonesia diselenggarakan, sehingga butuh kesiapan yang matang oleh penyenggara pemilu dan stake holder lainnya. Kedua, wilayah kepulauan seribu yang geografisnya di kelilingi lautan sangat bergantung pada cuaca laut sehingga dibutuhkan time line yang tepat untuk melakukan persiapan hingga pelaksanaan nya agar berjalan dengan lancar dan sukses. Ketiga, tingkat partisipasi pemilih pada pemilu sebelumnya tertinggi di provinsi DKI Jakarta, sehingga untuk pemilu serentak 2019 juga harus menghasilkan partisipasi yang tertinggi. Dalam rangka menjawab harapan agar pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan perolehan suara di wilayah kepulauan seribu dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku baik UU dan aturan lainnya yang dikeluarkan oleh KPU Pusat. KPU Kepulauan Seribu melakukan upaya dan strategi agar penyelenggaraan pemungutan suara dan penghitungan suara sesuai tahapan dan jadwal yang dilaksanakan tepat waktu. Adapun Upaya dan strategi yang dilakukan KPU Kepulauan Seribu antara lain: 1. Penyiapan kebutuhan logistik yang baik. Dalam rangka pengelolaan logistik yang optimal dan paripurna, penyelenggara dituntut untuk memperhatikan aspek aspek ketepatan dalam logistik yakti tepat kualitas, tepat waktu, tepat jumlah dan tepat sasaran ( tata Kelola Pemilu di Indonesia hal: 197) Oleh karenanya Sebagai daerah dengan geografis kepulauan yang di kelilingi lautan dengan jarak antar pulau pemukiman yang tidak dekat, KPU Kepulauan Seribu sudah melakukan analisa dan simulasi tentang model dan pola apa yang dilakukan agar logitik yang akan dilakukan pada hari pemungutan suara dan penghitungan perolehan suara sehingga tidak ada kendala dan hambatan logistik di Kepulauan Seribu. 2. Penguatan Badan Ad Hoc dan Stake Holder, membuat kegiatan Bimtek dan Simulasi tentang Aturan Teknis Pemungutan dan penghitungan perolehan suara, kegiatan bimbingan teknis ini dilakukan kepada seluruh badan ad hoc dan dilakukan secara berulang kali memastikan pemahaman dan penguasaan badan ad hoc tentang aturan dan teknis pada hari pemungutan suara dan penghitungan perolehan suara. Bahkan bekerja sama dengan pemerintah daerah bekerja sama untuk melakuan bimtek penguatan agar benar benar badan ad hoc yang bekerja nanti memiliki penguasaan dan kemampuan teknis yang baik. 3. Membuat tim monitoring yang kuat. Membuat tim monitoring yang tersebar di semua pulau pemukiman yang melibatkan seluruh pegawai yang ada dilingkungan KPU Kepulauan Seribu serta melibatkan badan ad hoc PPK dan PPS untuk memonitoring pada hari pemungutan suara dan penghitungan perolehan suara. Memastikan untuk melakukan antispasi terhadap persoalan yang akan muncul pada hari pemungutan dan penghitungan suara. 4. Koordinasi dengan baik, yiatu melakukan kooridnasi dengan peserta pemilu, bawaslu, pemerintah daerah serta stake holder untuk dapat mensukseskan pemilu serentak 2019 sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku serta memastikan kepada peserta pemilu untuk siap menang dan siap kalah dalam proses pelaksanaan pemilu 2019, hal ini dilakukan oleh KPU Kepulauan Seribu Seribu dengan mengadakan kegiatan Deklarasi Damai Pemilu Tahun 2019. 5. Pelibatan partisipasi masyarakat dalam mendorong pemilih datang ke TPS, guna meningkatkan dan animo masyarakat agar dapat ke TPS pada hari pemungutan suara dan penghitungan suara, selain dengan memberikan undangan dengan formulir C6, upaya yang dilakukan KPU dengan melibatkan relasi (relawan demokrasi) dari unsur maswyarakat untuk memberitahu agar pemilih datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya serta membuat lomba selfi di luar TPS dengan jinggle telah memilih. 6. Melakukan manajemen resiko, melakukan pemetaan resiko terhadap TPS yang harus dilakukan pendampingan agar pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara dengan melibaatkan tim monitoring yang dibentuk. Atas semua upaya dan strategi yang dilakukan oleh KPU Kepulauan Seribu dalam pelaksanaan tahapan pemungutan suara dan penghitungan perolehan suara hingga rekapitulasi yang berjalan dengan lancar dan sukses menjadi upaya dalam mewujudkan tata kelola pemilu yang baik guna mewujudkan pemilu yang berintergritas dan bermartabat dapat menjadi pijakan dalam pelaksanaan pemilu selanjutnya. Wallahu’alam bishawab  

Pemilu 2019 di Kepulauan Seribu: Tantangan dan Dinamikanya

Oleh Ahmad Gojali, SHI Anggota KPU Kepulauan Seribu Pemilihan Umum Tahun 2019 merupakan catatan sejarah bangsa Indonesia dalam pelaksanaan pergantian kepemimpinan nasional yaitu presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif dilakukan secara serentak sebagaimana di amanatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 14/PUU-XI/2013 yang dibacakan pada tanggal 23 bulan Januari 2013. Sekalipun putusannya dikeluarkan berdekatan dengan pemilu tahun 2014 akan tetapi dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemilihan umum serentak dilaksanakan untuk pemilihan umumTahun 2019, pelaksanaan pemilu serentak 2019 dimaksudkan untuk penguatan sistem presidensial dan efesiensi penyelenggaraan pemilu. Pemilihan Umum 2019 oleh banyak kalangan disebut sebagai dengan pemilu yang paling rumit di dunia, hal ini dikarenakan pelaksanaan nya yang dilaksanakan secara serentak dalam satu waktu antara pemilu presiden dan wakil presiden dengan pemilu legislatif, berbeda dengan pemilu sebelumnya yang dilaksanakan secara terpisah. Selain itu pemilihan umum tahun 2019 juga pemilih mendapatkan 5 jenis surat suara kecuali di provinsi DKI Jakarta yang hanya mendapatkan 4 jenis surat suara, hal ini juga menjadi perhatian bagaimana waktu yang dibutuhkan oleh pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Perhatian publik yang tinggi terhadap pelaksanaan pemilu 2019 menjadi modal pelaksanaan pemilu 2019 berjalan dengan lancar dan sukses yang pada awalnya diprediksi menyulitkan pemilih, tapi faktanya partisipasi pemilih pada pemilu 2019 mencapai 82 %,selain itu juga mendapat perhatian serius dari para pemantau pemilu yang berpartisipasi untuk mengawal pelaksanaan pemilu terlebih dari pemantau negara negara asing dengan berbagai pandangan positif tentang pelaksanaan pemilu 2019 di Indonesia. Proses pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019 di awali dengan pembentukan perangkat hukum sebagai landasan dalam pelaksanaan pemilihan umum serentak yang tercantum dalam Undang-UndangNomor 7 Tahun 2017 perubahan atas beberapa undang –undang yang sebelumnya yakni UU nomor 42 tahun 2008 mengatur pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Undang-undang nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu serta Undang-undang nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian lahirnya UU Pemilu yang pelaksanaannya telah selesai kita laksanakan seluruh rangkaian tahapannya dengan sukses dan berjalan dengan prinsip dan asas pemilu. Pemilu 2019 harus dilaksanakan dengan prinsip dan asas pemilu agar dalam pelaksanaannya diselenggarakan dengan Luber dan Jurdil, Komitmen untuk melaksanakan pemilu Luber dan Jurdil paling tidak memiliki empat alasan, Pertama memastikan pemilu memiliki legitimasi, Kedua sebagai upaya untuk mencegah terjadinya konflik pemilu,ketiga dimaksudkan agar hasil dari proses pemilu melahirkan pemimpin atau politisi yang berkualitas, dan keempat mempengaruhi pengakuan dunia Internasiona terhadap bangsa Indonesia (Buku tata Kelola Pemilu di Indonesai Hal 45) Suksesnya pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2019 bukan tanpa tantangan dan Dinamika, respon publik yang begitu tinggi terhadap suksesi kepemimpinan nasional yang digabung dengan pemilihan wakilnya yang duduk di lembaga legislatif baik Pusat maupun daerah memberikan respon positif dan negatif terhadap penyelenggaraan pemilu tahun 2019, secara positif hal ini dibuktikan setidaknya meningkatnya partisipasi masyarakat secara nasional dalam ikut memilih pada hari pencoblosan dan rendahnya gugatan PHPU (perselisihan hasil perolehan Suara) secara nasional yang masuk dan dapat diproses oleh Mahkamah konsititusi. Dalam pemilu 2019 setidaknya tantangan itu dialami oleh penyenggara pemilu, peserta pemilu dan pemilih, oleh karenanya pelaksanaan pemilu 2019 harus menjadi evaluasi pada pemilu selanjutnya untuk melakukan desain penyelenggaraan pemilu yang akan memberikan keadilan bagi penyelenggara, peserta pemilu dan pemilih. Bagi penyelenggara, pemilu 2019 memberikan tantangan untuk dapat menyelesaikan agar pemilu dilaksanakan dengan profesional dan mandiri mulai dari KPU pusat hingga KPPS, mulai kesiapan logistik sampai proses rekapituasi hingga gugatan pemilu. Setidaknya pemilu 2019 berbeda dari pemilu sebelumnya karena serentak hal ini menyebabkan penambahan kotak dari 4 kotak pada pemilu sebelumnya menjadi 5 kotak pada pemilu 2019, bisa dibayangkan untuk menyelesaikan 4 kotak saja membutuhkan waktu yang lama terlebih lagi dengan 5 kotak akan dilaksanakan lebih lama lagi, selain itu dihadapkan pada badan ad hoc penyenggara pemilu tidak boleh menjabat selama 2 periode yang sama, sedangkan pada proses penghitungan suara dan rekapitulasi juga mempunyai tantangan tersendiri bagi penyelenggara pemilu. Bagi pemilih, pemilihan pemilu 2019 juga punya tantangan karena banyaknya surat suara yang digunakan di bilik suara, setidaknya membutuhkan waktu untuk mengingat calon mana yang harus dipilih baik pada surat suara presiden dan wakil presiden terlebih untuk surat suara calon legislatif untuk mengingat calon partai dan calon anggota legislatif nya yang harus di pilih, hal ini lah juga yang dihadapi pemilih, bagi pemilih muda bisa jadi semua surat suara dengan mudah diingat dan hafal untuk menentukan pilihannya, tapi untuk pemilih dewasa bahkan lansia bisa jadi hanya mampu mengingat calon presiden dan wakil presiden dan agak sulit untuk mengingat calon partai dan calon anggota legislatif yang harus di pilih. Bagi peserta pemilu, pemilu 2019 juga memberikan tantangan tersendiri dirasakan peserta pemilu hal ini karena secara bersamaan harus berkonsentrasi untuk memenangkan partainya untuk sebanyak banyak nya memperoleh suara agar masuk Parlementhary Treashold (PT) yang ditetapkan Undang Undang disisi lain juga harus memenangkan calon Presiden dan Wakil Presiden yang di usungnya, dua agenda pemilihan yang dilaksanakan pada satu waktu juga menjadi perhatian bagi peserta pemilu untuk mempersiapkan diri dan mengatur strategi untuk berhasil pada pemilu 2019, begitu juga peserta perseorangan yang berkompetisi untuk memperoleh suara sebanyak banyak untuk menjadi calon terbaik 4 besar agar lolos menjadi anggota legislatif. Selian itu sebelumnya peserta pemilu dihadapkan pada proses verifikasi untuk menjadi peserta pemilu yang menuntut banyak administrasi dan verifikasi agar lolos sebagai peserta pemilu. Dalam konteks pelaksanaan pemilu di Kepulauan Seribu, diharapkan dapat dilaksanakan dengan prinsip dan asas pemilu sebagaimana tercantum dalamUndang-undang pemilu sehingga pemilu 2019 di Kepulauan Seribu berjalan dengan sukses dan damai. Tantangan dan dinamika dalam pelaksanaan pemilu 2019 juga terjadi di kepulauan seribu, dengan wilayah yang oleh banyak kalangan dianggap kecil dengan pemilih sebanyak 19.013, akan tetapi luas wilayah secara keseluruhan Kepulauan Seribu lautan dan daratan nya 13 (tiga belas) kali lipat luas DKI Jakarta. Oleh karena itu tantangan pelaksanaan pemilu di Kepulauan seribu berbeda dengan 5 kota Administrasi di provinsi DKI jakarta karena kepulauan seribu secara geografis terdiri dari pulau pulau kecil yang di kelilingi oleh lautan. Tantangan georgrafis itu menjadi pijakan oleh penyelenggara Pemilu di kepulauan seribu secara profesional pemilu dapat dilaksanakan secara Luber dan Jurdil, semua tahapan penyelenggaraan pemilu dilaksanakan secara tepat waktu dan partisipatif. Secara umum tantangan pemilu 2019 di kepulauan seribu dialami oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan pemilih. Butuh strategi yang kuat dan matang untuk melaksanakan pemilu 2019 di kepulauan seribu, bisa jadi ini dialami juga oleh wilayah lain di Indonesia yang terletak di wilayah pengunungan dan kepulauan. Bagi penyelenggara, sejak pemilu serentak digulirkan pelaksanaannya, penyelenggara pemilu di Kepulauan Seribu sudah siap melaksakan suluruh tahapan yang akan dilaksanakan, pengalaman pemilu sebelumnya menjadi pijakan untuk menjadi bahan untuk pelaksanaan pemilu 2019 karena cakupan wilayah bukan saja pada pemilih yang tinggal di pulau pemukiman, pemilih yang bekerja di pulau resort juga harus melayani pemilih yang ada di wilayah pengeboran minyak lepas pantai, termasuk kesiapan rekrutmen badan ad hoc yang akan menjadi ujung tombak pelaksanaan ditingkat bawah, menyusun kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi cuaca lautan. Dalam proses rekrutmen badan ad hoc di Kepulauan Seribu dilakukan secara terbuka dan juga melibatkan banyak stake holder hal ini dilakukan untuk memastikan yang menjadi badan ad hoc yang bekerja secara profesional baik yang bertugas di pulau pemukiman maupun bertugas di pengeboran minyak lepas pantai, dihadapkan juga pada badan ad hoc yang mengundurkan diri mendekati hari pemungutan suara. Rekrutmen badan ad hoc di kepulauan seribu harus cermat dilakukan karena memang populasi penduduknya yang sedikit, hal ini mengakibatkan sulitnya mencari penyelenggara yang tidak 2 periode dan harus cepat karena peserta pemilu juga pasti membutukan banyak orang untuk menjadi tim sukses dan relawan. Kepulauan Seribu pada pemilu 2019 menjadi wilayah yang paling cepat menyelesaikan rekapitulasi dan situng dibanding wilayah lain di DKI Jakarta, hal ini bukan berarti tanpa tantangan, selain waktu dan hari yang disiapkan lebih banyak dari perkiraan juga kondisi geografis dalam melakukan distribusi logistik yang membutuhkan waktu. Pada proses perhitungan suara di TPS, KPPS di kepulauan seribu juga mengalami apa yang dialami oleh KPPS wilayah lain di DKI Jakarta yaitu menyelesaikan pengisian formulir formulir yang harus di isi, bahkan ada beberapa TPS di Kepulauan Seribu menyelesaikan pada pagi di hari berikutnya, akan tetapi secara keseluruhan dilaksanakan di hari yang sama, banyak faktor mulai kelelahan fisik hingga kekurangan formulir. Tapi Alhamdulillah tidak ada satupun KPPS yang sakit dan sampai meninggal dunia. Pada proses rekapitulasi juga sama seperti wilayah lain di DKI Jakarta dilakukan secara paralel, untuk kepulauan seribu pada awal pelaksanaan rekapitulasi tanpa paralel akan tetapi untuk wilayah kecamatan kepulauan seribu utara harus dilakukan rekapitulasi dengan paralel, dengan 4 kotak suara rekapitulasi pemilu 2019 lebih lama dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Pada proses situng pun sempat terkendala dengan jaringan internet, tapi dapat diselesaikan tepat waktu dan tercepat dibanding kota lain di Provinsi DKI Jakarta. Bagi Pemilih, mendapatkan informasi pemilu yang akurat dan cepat sangat dibutuhkan oleh pemilih dalam semua tahapan pemilu, mulai dari terdaftar sebagai pemilih, informasi tentang peserta pemilu dan calon nya serta hak dapat memilih pada hari pemungutan suara pada pemilu 2019. Di kepulauan seribu seluruh tahapan untuk memberikan akses bagi pemilih diberikan seluas seluas nya dengan berbagai kegiatan baik tatap muka, penyediaan media informasi termasuk jemput bola. Diantara dengan membuat posko dan membentuk relawan demokrasi sebagai upaya untuk memberikan informasi kepada masayarakat dan pemilih. Akses internet dan media elektronik menjadi bahan media pendukung dalam memberikan informasi kepada pemilih di Kepulauan Seribu untuk melihat dan membaca visi misi calon peserta pemilu baik partai politik maupun perseorangan. Hal ini karena sedikit sekali aktivitas kampanye dan penyebaran informasi yang dilakukan oleh peserta pemilu hanya beberapa peserta pemilu saja yang melakukan aktivitas kampanye itupun lebih banyak dilakukan oleh calon anggota legislatifnya, begitu juga calon anggota legislatif dari jalur perseorangan hanya beberapa saja yang melakukan aktivitas penyampaian visi misi baik melakukan tatap muka maupun melalui media informasi. Hal ini tentu membuat pemilih di Kepulauan Seribu secara langsung baik tatap muka maupun media informasi sedikit sekali mendapatkan informasi tentang visi misi peserta pemilu kecuali untuk calon presiden dan wakil presiden memang dengan kompetisi yang ketat juga terjadi di Kepulauan Seribu yang mendapatkan informasi tentang visi dan misi nya. Informasi tentang peserta pemilu juga didapatkan oleh pemilih melalui Fasilitasi Alat Peraga Kampanye untuk peserta pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai mana diamanatkan dalam UU Nomor 7 tahun 2017 Pasal 275 Ayat 1 hurud d dan Ayat 2 yang dijabarkan dalam PKPU Nomor 33 Tahun 2018 dan SK KPU RI Nomor 1096 Tahun 2019 tentang petunjuk teknis Fasilittasi Metode Kampanye dalam Pemilu 2019. Fasilitasi berupa Alat Peraga Kampanye ini paling tidak menjadi media yang efektif bagi pemilih di tengah sepinya kampanye yang dilakukan oleh peserta pemilu. Bagi peserta pemilu, pemilu 2019 di kepulauan seribu bukan perkara mudah untuk dapat melaksanakan berbagai aktivitas kegiatan mulai dari merekrut tim sukses dan relawan, mencari saksi yang akan bertugas juga bukan perkara yang mudah, akan tetapi beberapa peserta pemilu yang memiliki kepengurusan dan tim sukses tingkat bawah punya kemudahan untuk dapat menjalankan aktivitasnya untuk melaksanakan kampanye menyampaikan visi dan misi serta mengenalkan calonnya. Geografis kepulauan seribu yang merupakan tantangan tersendiri bagi peserta pemilu 2019, hal ini di karenakan untuk menjangkau simpatisan dan tatap muka dengan masyarakat antar pulau pemukiman tidak bisa dilaksakan sekaligus ke semua pulau pemukiman, terlebih lagi kunjungannya menggunakan transportasi kapal reguler hanya mampu menjangkau satu pulau pemukiman terkecuali menggunakan kapal charter bisa dua hingga tiga pulau. Sehingga pemilu 2019 tidak banyak peserta pemilu yang secara kontinue melakukan kampanye tatap muka terlebih lagi dalam bentuk kampanye akbar, hanya beberapa peserta pemilu saja yang melakukan. Akan tetapi geliat kampanye dalam bentuk alat peraga, penyebaran poster, pamflet dan stiker banyak dilakukan oleh peserta pemilu selain mudah juga tidak membutuhkan pembiayaan yang besar, peserta pemilu melihat suara di kepulauan seribu juga memberikan kontribusi besar untuk dapat mendapatkan suara dan perolehan kursi pada Dapil III DPR RI dan Dapil II DPRD Provinsi DKI Jakarta jika dilakukan secara maksimal. Selain sepinya kampanye tatap muka dan kampanye akbar, pemasangan spanduk dan baliho juga mengalami hal yang sama, padahal sesuai amanat UU Nomor 7 tahun 2017 Fasilitasi Media Kampanye juga di berikan kepada peserta pemilu dalam bentuk Alat Peraga Kampanye akan tetapi biaya desain dan pemasangan nya dibebankan kepada peserta pemilu, besarnya biaya operasional distribusi dan pemasangan oleh beberapa peserta pemilu ada yang belum mengambil Alat Peraga Kampanye nya hingga perhelatan pemilu 2019 selesai dilaksanakan. Akhirnya diantara pesimisme publik dalam melihat pemilu 2019 di Indonesia, pelaksanaan pemilu 2019 Kepulauan Seribu berjalan dengan lancar dan damai, kesuksesan pelaksanaan pemilu 2019 di Kepulauan dapat dilihat setidak nya beberapa keberhasilan dan indikator antara lain : pertama, Partisipasi Pemilih dalam pemilu 2019 di Kepulauan Seribu mencapai 82,35 % dengan hitungan pembagi DPT, sedangkan jika dilakukan pembagi dengan DPT+DPTb+DPK maka angka partisipasi mencapai 91 %. Kedua, Pelaksanaan Rekapitulasi dan Situng pada pemilu 2019 tercepat dan tepat waktu di Provinsi DKI Jakarta. Ketiga, Tidak adanya sengketa Pemilu yang di proses dan sengketa PHPU yang masuk ke Mahkamah Konstitusi. Keempat, tidak adanya Pemungutan Suara Ulang di Kabupaten Adminsitrasi Kepulauan Seribu Wallahu’alam Bi Shawab, semoga menjadi best practice dalam pelaksanaan pemilu selanjutnya dapat dilaksanakan dengan baik dan sukses.

Pengaruh Fasilitasi Alat Peraga Kampanye Terhadap Partisipasi Pemilih Pada Pemilu Serentak 2019

Undang-undang 7 tahun 2017 pasal 275 ayat (1) huruf d dan ayat (2) mengamanatkan KPU untuk memfasilitasi Alat Peraga Kampanye (APK) untuk peserta pemilu 2019, baik itu Peserta Pemilu Presiden - Wakil Presiden, Peserta Pemilu DPR & DPRD yaitu Partai Politik maupun Pemilu DPD. Amanat dari UU tersebut dituangkan oleh KPU RI dalam Peraturan KPU nomor 33 tahun 2018 dan SK nomor 1096 tahun 2018 tentang tentang Petunjuk Teknis Fasilitasi Metode Kampanye dalam Pemilu 2019. Juknis ini mengatur KPU, KPU provinsi dan KPU Kabupaten/kota agar memfasilitasi Alat Peraga Kampanye untuk Seluruh Peserta Pemilu 2019 sesuai dengan tingkatannya. KPU Kabupaten/Kota didalam Juknis tersebut ditugasi untuk memfasilitasi APK dalam bentuk Baliho dan Spanduk, masing-masing berukuran 4x7 meter untuk Baliho dan 1,5x7 meter untuk Spanduk, dengan jumlah untuk Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 10 Baliho dan 16 Spanduk, untuk Partai Politik masing-masing mendapatkan 10 Baliho dan 16 Spanduk, serta untuk Calon DPD 10 Spanduk. Di KPU Kabupaten Kepulauan Seribu fasilitasi APK tersebut menelan anggaran sebesar Rp 99.627.000,-. Dalam Juknis tersebut KPU hanya diwajibkan untuk memfasilitasi pencetakan APK, untuk desain dan pemasangan APK tersebut diserahkan kepada masing-masing Peserta Pemilu sehingga tidak sampai menambah beban anggaran serta beban kerja KPU ditengah Tahapan Pemilu Serentak 2019 yang sangat padat. Dari 2 Tim Paslon Capres Cawapres, 16 Parpol dan 26 Calon DPD Peserta Pemilu di Kabupaten Kepulauan Seribu seluruhnya telah menyerahkan desain Alat Peraga Kampanye sebelum habis masa waktu penyerahan desain, meskipun ada beberapa Parpol dan Calon DPD yang mendekati batas penyerahan desain harus diingatkan berkali-kali agar menyerahkan desain APK, beberapa diantaranya mengaku kesulitan untuk membuat desain tersebut. Namun ketika APK sudah selesai dicetak beberapa peserta pemilu Partai Politik dan Calon DPD sampai batas waktu yang ditentukan ada yang belum juga mengambil APK dikantor KPU Kepulauan Seribu, ada yang beralasan belum sempat mengambil APK karena kesibukan mempersiapkan kampanye, beberapa LO calon DPD ketika dihubungi via telepon oleh staf KPU Kepulauan Seribu dan ditanya mengapa belum mengambil APK dikantor KPU Kepulauan Seribu mengaku masih bingung terkait biaya transportasi dan pemasangan APK di pulau-pulau yang ada di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, beberapa ketua partai politik tingkat kabupaten Kepulauan Seribu memang sering berseloroh bahwa ongkos kampanye di wilayah Kepulauan Seribu sangat mahal, tidak sebanding dengan jumlah suara yang ada disana yang DPT-nya pada Pemilu 2019 hanya berjumlah 19.048 pemilih (DPTHP-3). Namun pantauan dari kegiatan monitoring komisioner KPU Kepulauan Seribu, menemukan seluruh Peserta Pemilu Presiden dan beberapa Partai Politik telah memasang APK hasil fasilitasi KPU di beberapa Pulau di Kepulauan Seribu, lain halnya dengan peserta pemilu DPD yang hanya hitungan jari LO DPD yang memasang APK di wilayah kabupaten Kepulauan Seribu. Dari dokumen Berita Acara penyerahan APK dari KPU Kabupaten Kepulauan Seribu kepada Peserta Pemilu 2019 tercatat 2 Tim Paslon Capres Cawapres, 14 Parpol dan 20 Calon DPD yang telah mengambil APK yang disediakan oleh KPU Kepulauan Seribu, sisanya sampai akhir masa kampanye tidak kunjung mengambil APK yang telah tercetak. Ini menunjukkan bahwa tidak semua peserta pemilu membutuhkan APK, tentunya dengan berbagai macam alasan mulai dari kesibukan konsolidasi ke konstituen, tidak adanya biaya pemasangan APK dan lain sebagainya, PERLUDEM dalam buku Evaluasi Pemilu Serentak 2019 : Dari Sistem Pemilu ke Manajemen Penyelenggaraan Pemilu menyebut bahwa “Logistik APK, merepotkan KPU, tak dibutuhkan peserta pemilu”. Pada pelaksanaan Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara Serta Tahapan Rekapitulasi Suara yang dituangkan dalam Form DB1 tercermin bahwa tingkat partisipasi pemilih di Kabupaten Kepulauan Seribu sebesar 82,35% dihitung dari jumlah DPT yang menggunakan hak pilihnya, jika dihitung dari Jumlah DPT + DPTb + DPK maka angka Partisipasi Pemilih di Kepulauan Seribu lebih tinggi lagi (mencapai 91%). Ini merupakan capaian tertinggi partisipasi pemilih dalam sejarah Pemilu di Kepulauan Seribu, walaupun ditingkat nasional tingkat partisipasi pemilih juga memang mengalami puncaknya setelah pada 3 pemilu sebelumnya mengalami tren penurunan partisipasi pemilih, kenaikan ini mungkin juga disebabkan faktor semakin bagusnya kualitas peserta pemilu salah satunya karena kerasnya persaingan antar kandidat, kualitas pemilih dan kualitas penyelenggaraan pemilu. Kaitannya dengan partisipasi pemilih, hasil rekapitulasi suara Pemilu Presiden di Kepulauan Seribu perolehan suara antara Paslon 01 dan 02 tidak terpaut jauh. Pada Pemilu DPD, Calon DPD dengan nama yang sudah populer berhasil mendapat suara signifikan di Kepulauan Seribu meskipun tidak melakukan kampanye secara intensif, Calon DPD incumbent Fahira Idris berhasil memperoleh suara terbanyak di Kepulauan Seribu, Calon DPD dengan nama yang sudah populer yakni Sylviana Murni yang pernah mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Gubernur DKI mendapat suara terbanyak kedua, kemudian Endang Widuri dan Alwiyah Ahmad diperingkat ketiga dan keempat. Namun pada jenis Pemilu DPR di Kepulauan Seribu jika kita analisa Hasil Rekapitulasi Suara pada Form DB1, amat kentara bahwa Candidate Center sangat nyata di Kepulauan Seribu, candidate center yang dimaksud oleh saya adalah besarnya daya tarik dari para Caleg melebihi daya tarik partainya, ini dibuktikan dengan perolehan suara Caleg yang lebih banyak dibanding suara partai, untuk Partai peraih suara terbanyak pertama untuk Pemilu DPR, PAN misalnya, Caleg nomor urut 1 yaitu H. Lulung mendapat suara 1.059 sedangkan untuk suara partainya hanya 173. Sedangkan untuk Pemilu DPRD provinsi, Caleg peraih suara tertinggi yaitu H. Muhammad Idris yang merupakan kelahiran Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu berhasil mendapatkan suara 3.272 melampaui suara partainya partai NASDEM yang mendapat 688 suara, begitu juga partai lain seperti Golkar, PDIP, PKS dan HANURA yang memiliki Calon DPRD kelahiran Pulau Seribu juga mengalami candidate center. Menurut saya faktor kedekatan emosional warga Pulau Seribu kepada putra daerah menjadi salah satu sebab terjadinya Candidate Center pada Pemilu DPRD di Kepulauan Seribu. <a href="https://ibb.co/kDqLxzH"><img src="https://i.ibb.co/kDqLxzH/table-artikel-xx1.png" alt="table-artikel-xx1" border="0"></a> Kesimpulannya menurut penulis tingginya tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Serentak 2019 di Kabupaten Kepulauan Seribu disebabkan 4 faktor. Pertama, panasnya persaingan antar kandidat Paslon Capres-Cawapres membuat masyarakat Kepulauan Seribu tertarik untuk sedapat mungkin memberikan suara untuk Capres pilihan mereka dan berharap Capres pilihan mereka dapat meraih suara terbanyak. Kedua, masyarakat Kepulauan Seribu semakin memahami pentingnya Pemilu dan semakin memiliki pengetahuan mengenai rekam jejak calon Presiden dan Wakil Presiden serta Calon Legislatif yang akan mereka pilih, hal ini salah satunya mungkin saja terjadi karena tingkat keberhasilan KPU Kepulauan Seribu menyosialisasikan Pemilu Serentak 2019 kepada Masyarakat, termasuk melalui media Fasilitasi Alat Peraga Kampanye (APK) untuk peserta Pemilu. Ketiga, masyarakat semakin percaya kualitas penyelenggaraan Pemilu sehingga mereka tidak lagi bersikap apatis terhadap Pemilu, hal ini bisa disebabkan dari penyelenggara Pemilu yang berhasil membangun kepercayaan publik terhadap transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan Pemilu. Dan keempat, adanya ikatan emosional antara pemilih dengan Calon Legislatif putra daerah Kepulauan Seribu, ini dibuktikan dengan lebih tingginya suara Caleg yang berasal dari Kepulauan Seribu dibandingkan dengan suara partai yang mengusungnya, sehingga fenomena Candidate Center tidak bisa dihindari, pada Pemilu Serentak tahun 2019 putra daerah Kepulauan Seribu yang mendaftar sebagai Calon DPRD DKI Jakarta berjumlah 6 orang, sedangkan pada Pemilu-pemilu sebelumnya hanya berkisar 1-3 orang. Menurut saya ada pengaruh dari fasilitasi APK yang dilakukan oleh KPU Kepulauan Seribu terhadap peningkatan partisipasi pemilih walaupun pengaruhnya tidak sebesar faktor-faktor lainnya yang telah saya sebutkan diatas, jika diprosentasikan menurut gambaran subyektif saya pengaruhnya mencapai 20%. Terlepas dari besar kecilnya pengaruh Fasilitasi APK untuk Peserta Pemilu terhadap tingkat partisipasi pemilih, penulis menyerahkan sepenuhnya kebijakan tersebut kepada para pembuat UU Pemilu dan pimpinan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Sami'na Wa Atho'na... Muamar Kadafi (Komisioner KPU Kab. Adm. Kepulauan Seribu)

Populer

Belum ada data.